Type Here to Get Search Results !

Sejarah (Papua) untuk Masa Depan: Refleksi 1 Mei 1963

Breaking News
Kadis Lingkungan Hidup Tolikara Elius Enembe Ajak Masyarakat Jaga Lingkungan Bersih dan Sehat Peringatan Hardiknas 2024 di SD YPPK Santo Vinsensius Mabilabol, Oksibil Berlangsung Semarak Kodim Deiyai Gelar Turnamen Bola Voli dan Dapur Umum Meriahkan HUT ke-61 Kodam Cenderawasih Sejumlah Tokoh Deklarasikan FAN Kawal Pemerintahan Baru, Senator Angelo Ketua Harian Penjabat Gubernur Papua Pegunungan Velix Wanggai Apresiasi Seluruh Elemen yang Telah Melayani Masyarakat di Bidang Pendidikan
Odiyaiwuu.com | Membahagiakan Kehidupan
Budaya & Wisata
 
Khas & Unik
 
Olahraga
 
Literasi
 
Sosok

Beranda OPINI 
OPINI  
Sejarah (Papua) untuk Masa Depan: Refleksi 1 Mei 1963
ODIYAIWUU.Com
2 Mei 2024

Yorrys Raweyai. Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Dapil Papua. Foto: Istimewa
 4773 Total Pengunjung , 745 Pengunjung Hari Ini
Oleh Yorrys Raweyai

Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Dapil Papua

TIDAK lama berselang sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan Presiden Republik Indonesia pertama, Ir Soekarno menyampaikan pidato pada 23 Agustus 1945. Dengan nada tegas dan menggelegar, ia mengajak masyarakat yang bermukim di Papua untuk bergabung dengan Indonesia. 

“Bangsaku sekalian, di Sumatera, di Jawa, di Borneo, di Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku dari Sabang Sampai Merauke!”. Penggalan ujaran itulah yang melecut usaha-usaha kemerdekaan Indonesia yang meliputi seluruh wilayah yang pernah diduduki Hindia-Belanda, termasuk Papua.

Pergolakan tentang entitas Papua dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memang sudah berlangsung sejak awal. Para pendiri bangsa pun tidak kurang berselisih pendapat. Secara terang-terangan, beberapa bulan sebelum pidato tersebut diucapkan, perdebatan tentang batas-batas wilayah NKRI telah mengemuka. 

Dalam sidang BPUPKI yang berlangsung pada 10-11 Juli 1945, perbedaan pendapat tentang keberadaan Papua dalam wilayah Indonesia bahkan cenderung dinamis. Muhammad Hatta bahkan menyatakan bahwa etnis dan kebudayaan Papua memiliki kekhasan tersendiri sebagai rumpun Melanesia yang berbeda dengan rumpun Melayu yang dimerdekakan. 

“Saya sendiri ingin mengatakan bahwa Papua sama sekali tidak perlu pusingkan, bisa diserahkan kepada bangsa Papua sendiri. Saya mengakui bahwa bangsa Papua juga berhak menjadi bangsa yang merdeka. Akan tetap bangsa Indonesia untuk sementara waktu, yaitu dalam beberapa puluh tahun belum sanggup, belum mempunyai tenaga cukup untuk mendidik bangsa Papua, sehingga menjadi bangsa yang merdeka,” ujar Hatta.

Sebaliknya, Mohammad Yamin dan Soekarno memiliki pertimbangan politis tersendiri. Keduanya menganggap bahwa secara politik, keberadaan Papua memiliki sejarah yang berkaitan dengan kerajaan-kerajaan lainnya di nusantara, semisal Sriwijaya, Majapahit dan Tidore. Papua juga memiliki sumber kekayaan alam yang tidak ternilai, sehingga dapat diwariskan kepada generasi Indonesia di masa berikutnya.

Sekelumit perbedaan itulah yang memunculkan persoalan hingga tidak menemui kesepakatan. Pemungutan suara pun tidak terhindarkan. Dari 66 Anggota BPUPKI, 39 suara mendukung keberadaan Papua sebagai bagian dari Indonesia. Salah satu percikan sejarah itulah yang mewarnai gerakan penyatuan dengan segala bentuknya, termasuk pengibaran bendera merah putih di seantero Papua.

Integrasi atau Aneksasi?

Meski demikian, pergolakan tentang integrasi Papua ke dalam wilayah Indonesia tidak usai hanya melalui kemenangan dan pemungutan suara tersebut. Isu Papua terlanjur menjadi konsumsi global, khususnya antara Belanda dan Indonesia, hingga terangkat menjadi salah satu pembicaraan dalam Konferensi Meja Bundar pada 1949. 

Dalam catatan sejarah, terdapat tiga kali momentum yang mempertemukan pemerintah Belanda dan Indonesia untuk membicarakan masa depan keberadaan Papua, yakni pada April 1950, Desember 1950 dan Desember 1951. Ketiga pertemuan ini pun tidak menemui kata sepakat. Indonesia dan Belanda berada dalam posisi masing-masing antara kehendak untuk mengambil Papua dan kehendak untuk mempertahankan Papua hingga suatu waktu dapat menentukan nasib sendiri.

Sepanjang perjalanan setelahnya, sejarah pun mencatat tentang tarik-ulur entitas Papua yang sekaligus memunculkan dua tipikal nasionalisme: Indonesia dan Papua. Keduanya pun berada pada ujung mimpi dan ideologi yang “berbeda”. Nasionalis Indonesia berhadapan dengan nasionalis Papua yang tidak lagi sekadar dihuni oleh ide dan gagasan, tapi juga laras panjang dan butiran peluru.

Pada gilirannya, negara adidaya Amerika Serikat turut terlibat. Melalui serangkaian pertemuan Presiden Soekarno dengan Presiden AS John F Kennedy dan ditindaklanjuti dengan tugas diplomasi yang dilancarkan oleh utusan AS di PBB, Ellsworth Bunker, terbitlah usulan kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Maha Thray Sithu U Thant yang berisi tentang pemerintahan atas Papua Barat harus diserahkan ke Indonesia. Setelah sekian tahun di bawah Pemerintah Indonesia, maka rakyat Papua diberikan kesempatan untuk menentukan nasib sendiri. Untuk sementara itu, diadakan pemerintahan peralihan di bawah pengawasan PBB.

Usulan itulah yang kemudian memunculkan Perjanjian New York (New York Agreement) pada 15 Agustus 1962. New York Agreement tersebut mengawali babak baru diplomasi dengan kehadiran Badan Pemerintahan Sementara PBB atau United Nations Temporary Executive Authority (Untea) di tanah Papua. Persetujuan ini juga tercatat sebagai oleh Majelis Umum PBB berdasarkan Resolusi 24 September 1962 nomor 1752. 

Beberapa poin penting di dalamnya secara umum menegaskan bahwa Belanda akan menyerahkan pemerintahan di wilayah Papua kepada Untea yang selanjutnya diserahkan kepada Indonesia. Penyerahan ini dilakukan sebagai masa transisi hingga rakyat Papua mampu menentukan nasibnya sendiri melalui Penentuan Pendapatan Rakyat (Pepera).

Bisa dibayangkan, rentan waktu hingga pelaksanaan Pepera pada 1969 yang menghasilkan 1024 wakil Papua menyetujui untuk bergabung dengan Indonesia, diwarnai strategi dan konflik yang cukup terbuka. 

Berbagai bentuk intimidasi berlangsung sebagai usaha untuk meneguhkan Papua dalam wilayah Indonesia. Apalagi sebelumnya, sejak 1961, Pemerintah Indonesia telah membentuk Dewan Pertahanan Nasional yang bertugas menghimpun seluruh kekuatan untuk membebaskan Papua Barat dari penguasaan pemerintah Belanda.

1 Mei 1963

Proposal Bunker yang merupakan cikal bakal Perjanjian New York disebut-sebut telah memaksa Belanda meninggalkan tanah Papua yang telah didudukinya selama ratusan tahun. Salah satu poin proposal tersebut yang menimbulkan polemik hingga saat ini adalah pemulangan anggota sipil dan militer Belanda selambat-lambatnya 1 Mei 1963. Pada saat yang sama pemerintah Indonesia menerima Papua dari PBB setelah Untea melakukan persiapan selama dua tahun. 

Momentum 1 Mei 1963 dipandang sebagai awal keberadaan Indonesia secara resmi sekaligus menandai persiapan pemerintah dalam mengawal masa depan Papua. Tentu persiapan-persiapan tersebut harus memenuhi berbagai poin yang dipersyaratkan, khususnya kesiapan masyarakat dengan kebebasan berbicara, bergerak, berkumpul dan bersidang sesuai dengan Perjanjian New York. 

Namun sejarah ternyata menunjukkan realitas yang lain. Kehadiran pemerintah Indonesia sejak 1962 justru menandai kekerasan politik yang terus berlangsung. Sejak itu pula perang rahasia aparat TNI dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) semakin bergejolak (LIPI: 2004). Bahkan sejak 1963, oposisi identitas pun semakin berkembang, tidak hanya soal kekerasan politik, tapi juga soal identitas. Perbedaan identitas ini menjadi semakin menguat dan menggerakkan nasionalisme Papua.

Saat ini, sekelumit sejarah di atas semakin mengiang di kepala publik. Bukan hanya masyarakat Papua, tapi juga masyarakat generasi baru yang membutuhkan penjelasan dan narasi tentang Indonesia dan Papua masa lalu. Jika pada gilirannya sindrom aneksasi yang mengemuka dari momen 1 Mei tersebut, itu berarti banyak hal yang tidak terselesaikan di masa lalu, pun di masa kini. 

Janji tentang Papua yang lebih baik yang dikumandangkan dari sekian generasi dan menjadi syarat mutlak dalam berbagai forum diplomasi, tentu menjadi ganjalan tersendiri. Kehendak untuk merebut Papua dalam wilayah NKRI bukan sekadar hasrat politis belaka, tapi juga pembuktian bahwa pemerintah Indonesia lebih mampu dan lebih baik dalam menyejahterakan dan meningkatkan harkat dan derajat Papua dibanding pihak lain, khususnya Pemerintah Belanda.

Dengan demikian, selain persoalan pelurusan sejarah yang masih membutuhkan penjelasan dan pengakuan, narasi tentang masa depan Papua sejatinya lebih diutamakan. Sebab apapun sejarah itu, sebagaimana disinggung oleh Arnold J Toynbee, bertujuan untuk to study the past to build the future. Mungkin ada benarnya adagium para sejarawan bahwa sejarah diperuntukkan untuk mereka yang hidup, bukan bagi mereka yang telah meninggalkan kita. Sehingga kita hidup tidak sekadar be-romantisme ria, namun menatap masa depan yang lebih baik.

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Hollywood Movies