Type Here to Get Search Results !

Jalan berliku pejuang Papua, dari OPM hingga teroris

 Jayapura, Jubi – Sudah puluhan dasawarsa pejuang kemerdekaan Papua menunjukkan eksistensinya.


Benih perlawanan orang Papua terhadap Pemerintah Indonesia tumbuh sejak Belanda resmi menyerahkan Irian Barat (Papua) kepada Pemerintah Indonesia, 1 Mei 1963.

Orang Papua yang merasa hak kemerdekaanya dirampas, mengorganisir diri. Mencetuskan Organisasi Papua Merdeka (OPM), gerakan perlawanan bersenjata.

Jalan berliku dilalui para pejuang kemerdekaan Papua itu merebut kembali apa yang dianggap haknya. Berbagai strategi dan kebijakan terus dilakukan Pemerintah Indonesia, untuk meredam perlawanan mereka.

Pendekatan militer (keamanan), pembangunan hingga sebutan yang munculkan pandangan negatif publik terhadap kelompok ini.

Pemerintah enggan menyebut OPM. Sebab mengindikasikan negara mengakui eksistensi para pejuang kemerdekaan Papua.

Pemerintah semula menyebut mereka sebagai kelompok bersenjata. Sebutan itu diubah menjadi kelompok sipil bersenjata.

Kemudian kelompok kriminal bersenjata, kelompok kriminal sipil bersenjata, dan kini muncul rencana mengategorikan OPM sebagai organisasi terorisme.

Rencana ini disampaikan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komisaris Jenderal Polisi Boy Rafli Amar dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI di Jakarta, awal pekan ini.

Pernyataan mantan Kapolda Papua itu ditentang berbagi pihak. Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua, Latifah Anum Siregar mengingatkan pemerintah lebih berhati hati dalam memberikan definisi.

“Ya menurut saya sebenarnya, mohon maaf mungkin pemerintah sudah kehilangan akal ya bagaimana menangani [OPM] ini,” kata Anum Siregar kepada Jubi, Kamis (25/3/2021).

Definisi terorisme dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2018, tentang tindak pidana terorisme, begitu luas. Memungkinkan siapapun dapat dikategorikan terorisme. Namun untuk melabeli OPM sebagai kelompok terorisme mesti dipertimbangan secara baik.

Menurut Anum, mesti dilihat lebih jelas lagi karena UU tindak pidana teroris itu identifikasinya belum jelas, dari sisi definisi dan ruang lingkupnya.

Ia berpendapat, justru ada kontradiksi dalam UU itu. Misalnya Pasal 5 yang menyebut “Tindak Pidana Terorisme yang diatur dalam Undang-Undang ini harus dianggap bukan tindak pidana politik, dan dapat diekstradisi atau dimintakan bantuan timbal balik sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.”

“Kita tahu perlawanan yang ada di TPNPB/OPM ini, memiliki perbedaan dengan kelompok teroris. TPNPB/OPM punya satu tujuan. Yaitu aspirasi atau kemerdekaan secara politik. Itu salah satu perbedaannya,” ujarnya.

Sementara kelompok terorisme kata anggota Jaringan Damai Papua itu, memiliki tujuan pribadi atau kelompok. Begitupula mengenai lokasi. TPNPB/OPM hanya melakuka aksi di Tanah Papua.

Meski di tempat lain, termasuk di beberapa negara mereka memiliki perwakilan. Akan tetapi, tujuan utamanya mengarah ke Tanah Papua.

“TPNPB/OPM itu tidak memiliki tujuan pribadi. Tujuan mereka untuk kelompok besar yaitu memperjuangkan aspirasi politik merdeka. Dari tujuan sudah berbeda,” ucapnya.

Ia berpendapat, jika membaca penjelasan umum UU tindakpidana terorisme, disebutkan penyerangan kepada penduduk secara acak dan tidak terseleksi. Selama ini OPM melakukan penyerangan secara seleksi terhadap pihak tertentu.

Misalnya aparat keamanan atau warga sipil dan fasilitas yang diberi definisi tertentu. Warga sipil yang diserang, dianggap mata mata.

“Terlepas dari itu, memang kita mengutuk penyerangan terhadap masyarakat sipil. Tapi dalam konteks itukan mereka memberikan defenisi. Kalau teroris itukan bisa saja dilakukan secara acak, tidak terseleksi. Definisi dalam Undang-Undang teroris sendiri menyebut itu, jadi ada perbedaan,” katanya.

Anggota komisi bidang pemerintahan, politik, hukum dan HAM DPR Papua, Laurenzus Kadepa menyatakan hal yang sama.

“Saya pikir mungkin pemerintah sudah kehilangan cara. Kehilangan akal menyelesaikan masalah Papua dan ini didorong [akan melabeli OPM sebagai kelompok terorisme],” kata Kadepa.

Upaya pemerintah mengkaji penetapan OPM sebagai kelompok terorisme kata Kadepa, justru akan menimbulkan berbagai pertanyaan dari banyak pihak.

Tidak hanya dari kalangan yang berada di Papua atau mereka yang selama ini mendorong terciptanya perdamaian di Papua.Dunia internasional juga akan mempertanyakan itu.

“Akan ada pertanyaan, apakah pemerintah tidak dapat lagi menangani keberadaan OPM, sehingga mau dikategorikan dalam kelompok teroris,” ujarnya.

Pengkategorian OPM sebagai kelompok terorisme mungkin saja dipandang pemerintah sebagai salah satu cara “menjinakkan” sejumlah negara yang selama ini mendukung perjuangan Papua merdeka.

Sebab di dunia internasional, terorisme tidak mendapat tempat. Hampir semua negara di dunia menyatakan menolak keberadaan terorisme.

“Sementara kalau disebut pejuang kemerdekaan misalnya OPM, ada berbagai negara menyatakan dukungan. Sebab menganggap itu bagian dari hak asasi. Perwakilan mereka di luar negari bahkan diterima sebagai warga negara tertentu,” ucapnya.

Wakil koordinator Bidang Advokasi KontraS, Arif Nur Fikri berpendapat, luasnya definisi terorisme dalam UU tindakpidana terorisme, menjadi ancaman terhadap semua kalangan. Sebab pemerintah dapat menafsirkannya sendiri.

Luasnya definisi terorisme itulah dikritisi pihaknya sejak awal pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, menjadi UU Nomor 5 Tahun 2018.

“Kali ini OPM [yang akan dikategorikan sebagai terorisme]. Ke depan mungkin kelompok lain,” kata Arief.

Misalnya pihak yang mengkritisi pemerintah atau kelompok masyarakat yang melakukan kekerasan. Baik itu berbasis agama atau sosial politik, juga bisa dikatakan sebagai organisasi terorisme.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan mengklasifikasi OPM sebagai organisasi terorisme, tidak akan mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia terhadap orang Papua. Terutama yang diduga dilakukan aparat keamanan.

Label teroris terhadap OPM juga dikhawatirkan akan dijadikan alasan membatasi kebebasan berekspresi dan berkumpul masyarakat asli Papua.

Di Jakarta, Komisioner Komnas HAM Amiruddin Al Rahab juga mengingatkan BNPT tidak gegabah menilai kondisi di Papua, dengan memasukkan OPM dalam organisasi terorisme.

“Memang banyak korban berjatuhan di Papua, dan itu menjadi salah satu masalah serius di Papua. Akan tetapi, pengkategorian OPM sebagai organisasi terorisme bukan solusi tepat,” kata Amiruddin Al Rahab.

Komnas HAM RI kata Amiruddin, akan segera melakukan komunikasi dengan Boy Rafli Amar. Pihaknya merasa perlu mempertanyakan lebih dalam wacana pengkategorian OPM, sebagai organisasi terorisme.

Komnas HAM berpandangan, kini jalan keluar terbaik untuk menyelesaikan konflik di Papua adalah dengan melakukan penegakan HAM dan penghormatan hak asasi oleh semua pihak.

“Jangan terlalu emosional. Mesti mencari jalan keluar yang lebih tepat. Dari perspektif Komnas HAM ya dengan penegakan HAM dan penghormatan pada HAM oleh semua pihak,” ucap Amiruddin. (*)


Editor: Angela Flassy

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Hollywood Movies