Type Here to Get Search Results !

TNI/Polri dan Putra-Putri Pejuang Pepera Harus Belajar dan Mengetahui Kebenaran Sejarah Pelaksanaan PEpera 1969 di West Irian

 "Menurut keyakinan iman dan ilmu pengetahuan saya, hari Minggu tidak hanya berbicara tentang Allah di surga dalam ruang yang kosong dari mimbar suci, tapi sampaikan kebenaran hakiki yang dibengkokkan dan dipasung di dunia realitas yang digumuli dan dihadapi umat Tuhan sehari-hari dan dari waktu ke waktu supaya menghadirkan Kerajaan Allah dalam bumi yang nyata seperti dalam Kitab Suci Matius 6:10". 

"..mereka akan menceritakan sejarah status Politik Papua yang sebenarnya.."  (Yanto Eluay, 28/10/2020). 

Oleh Gembala Dr. Socratez Yoman,MA

1. Pendahuluan

Karena ada komitmen Putra Putri Pejuang Pepera Papua (P5) dengan TNI-POLRI, untuk mempertahankan, memelihara dan menceritakan sejarah Pepera 1969 yang sebenarnya, maka artikel ini ditulis tentang apa yang dimaksud dengan kebenaran sejarah Pepera 1969. 

Karena akibat dari hasil Pepera 1969 itu tragedi kemanusiaan terus terjadi di Papua selama 51 tahun terhitung dari tahun 1969 dan tragedi kemanusiaan terbaru tewasnya Pendeta Yeremias Zanambani di tangan TNI pada 19 September 2020, Rupinus Tigau Katekis/Pewarta Katolik tewas di tangan operasi Gabungan TNI-POLRI pada 26 Oktober 2020 di Jalae Distrik Sugapa, Intan Jaya dan penembakan mahasiswa Mathis Soo pada saat demonstrasi damai mahasiswa pada 27 Oktober 2020 di kampus Uncen Waena-Jayapura- West Papua. 

Tragedi kemanusiaan ditimbulkan TNI-POLRI dari waktu-waktu, yang tidak pernah berhenti seperti ini dapat digambarkan Pastor Dr. Franz Magnis dengan sangat sempurna: 

“Situasi di Papua adalah buruk, tidak normal, tidak beradab, dan memalukan, karena itu tertutup bagi media asing.Papua adalah luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia.” (Sumber: Kebangsaan, Demokrasi, Pluralisme: 2015:255).

Sementara Pastor Frans Lieshout melihat bahwa "Papua tetaplah luka bernanah di Indonesia." (Sumber: Pastor Frans Lieshout OFM: Gembala dan Guru Bagi Papua, (2020:601).

2. PEPERA DIMENANGKAN ABRI (kini:TNI)

Apakah Yanto Eluay dengan anggotanya yang membentuk wadah Putra Putri Pejuang Pepera 1969 Papua (P5) adalah anak-anak purnawirawan yang terlibat langsung dan memenangkan Pepera 1969 di Papua dengan moncong senjata yang mengorbankan nasib masa depan rakyat dan bangsa West Papua itu? 

Pepera 1969 itu adalah "luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia. Pepera itu juga luka bernanah di Indonesia."

Bagaimana P5 dan TNI-POLRI masih dan tetap menjaga dan memelihara serta mempertahankan luka membusuk dan juga luka bernanah di tubuh Indonesia?

Ingat! Tegaknya merah putih dan NKRI di West Papua bukan dengan cara menjaga, memelihara dan mempertahankan sejarah yang salah dan bengkok yang sudah menjadi luka membuduk dan juga luka bernanah dalam tubuh bangsa Indonesia.

"...kamu akan mengetahui kebenaran, dan kebenaran itu akan memerdekakan kamu" (Yohanes 8:32). 

Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 14 Juli - 2 Agustus 1969, rakyat dan bangsa West Papua tidak ikut terlibat memilih menjadi bagian dari Indonesia. Karena dari jumlah penduduk orang asli Papua 809.337 orang pada saat Pepera 1969. Dari jumlah penduduk ini ABRI (kini:TNI) memilih dan menyeleksi hanya 1 025 orang. 

Berarti orang asli Papua yang tidak pernah ikut berpartisipasi dan memilih untuk tinggal dengan Indonesia sebanyak 808.332 orang dalam proses Pepera pada 14 Juli-2 Agustus 1969. Perlu ditegaskan bahwa 1.025 orang adalah pilihan ABRI bukan pilihan orang asli Papua. Peserta Dewan Musyawarah Pepera (DMP) berada dibawah teror, intimidasi dan tekanan moncong senjata ABRI. 

Dalam proses dimasukkannya Papua ke dalam wilayah Indonesia, militer Indonesia memainkan peran sangat besar dalam proses pelaksanaan dan sesudah Pepera 1969.  Berbagai dokumen militer telah menunjukkan hal ini.  Salah satunya adalah Surat Telegram Resmi Kol. Inf. Soepomo, Komando Daerah Militer XVII Tjenderawasih Nomor: TR-20/PS/PSAD/196, tertanggal 20-2-1967, berdasarkan Radio Gram MEN/PANGAD No.: TR-228/1967 TBT tertanggal 7-2-1967, perihal: menghadapi referendum di IRBA tahun 1969.

Dikatakan di sana,   “Mempergiatkan segala aktivitas di masing-masing bidang dengan mempergunakan semua kekuatan material dan personil yang organik maupun  yang B/P-kan baik dari Angkatan darat maupun dari lain angkatan. Berpegang teguh pada pedoman. Referendum di IRBA tahun 1969 harus dimenangkan, harus dimenangkan. Bahan-bahan strategis vital yang ada harus diamankan. Memperkecil kekalahan pasukan kita dengan mengurangi pos-pos yang statis. Surat ini sebagai perintah OPS untuk dilaksanakan. Masing-masing koordinasi sebaik-baiknya. Pangdam 17/PANG OPSADAR”.

Surat Rahasia Kolonel Infateri Soemarto yang diterbitkan Surat Kabar Nasional Belanda, NRC Handdelsblad, 4 Maret 2000. “Pada tahun 1969 Pemerintah Indonesia memanipulasi Pepera (Act of Free Choice) tentang status resmi Dutch New Guinea (Irian Jaya). Dengan seluruhnya berarti, wajar atau tidak wajar, Jakarta menginginkan untuk menghalangi orang-orang asli Papua dalam pemilihan melawan bergabung dengan Indonesia. Ini tampak dari yang disebut dengan “perintah rahasia” dalam bulan Mei 1969 yang diberikan oleh Soemarto, Komandan orang Indonesia di Merauke, bupati daerah itu…”(Sumber: Dutch National Newspaper: NRC Handdelsbald, March 4, 2000).

Laporan Hugh Lunn, wartawan Australia, menyatakan,  “Di Manokwari, sementara dewan memberikan suara, pemuda-pemuda Papua dari luar ruang pertemuan bernyanyi lagu gereja “sendiri, sendiri”. Untuk menangani ini tentara orang-orang Indonesia menangkap dan melemparkan mereka dalam mobil dan membawa mereka pergi pada satu bak mobil. Hugh Lunn, wartawan asing yang hadir, diancam dengan senjata oleh orang Indonesia sementara di mengambil foto demonstrasi orang Papua” (Dr. John Saltford: Irian Jaya: United Nations Involment With The Act of Self-Determination In West Papua (Indonesia West New Guinea) 1968-1969 mengutip laporan Hugh Lunn, seorang wartawan Australia, August 21, 1999).

Menurut Amiruddin al Rahab: "Papua berintegrasi dengan Indonesia dengan punggungnya pemerintahan militer." (Sumber: Heboh Papua Perang Rahasia, Trauma Dan Separatisme, 2010: hal. 42). 

Apa yang disampaikan Amiruddin tidak berlebihan, ada fakta sejarah militer terlibat langsung dan berperan utama dalam pelaksanaan PEPERA 1969. Duta Besar Gabon pada saat Sidang Umum PBB pada 1989 mempertanyakan pada pertanyaan nomor 6: "Mengapa tidak ada perwakilan rahasia, tetapi musyawarah terbuka yang dihadiri pemerintah dan militer?" 

(Sumber: United Nations Official Records: 1812th Plenary Meeting of the UN GA, agenda item 108, 20 November 1969, paragraf 11, hal.2).

"Pada 14 Juli 1969, PEPERA dimulai dengan 175 Anggota Dewan Musyawarah untuk Merauke. Dalam kesempatan itu kelompok besar tentara Indonesia hadir..." (Sumber: Laporan Resmi PBB Annex 1, paragraf 189-200).

Hak politik rakyat dan bangsa West Papua benar-benar dikhianati. Hak dasar dan hati nurani rakyat West Papua dihancurkan dengan moncong senjata militer Indonesia, walaupun fakta bahwa pada bulan Juni 1969, Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia mengakui kepada anggota Tim PBB, Ortiz Sanz, secara tertutup (rahasia):  “bahwa 95% orang-orang Papua mendukung gerakan kemerdekaan Papua” (Sumber:  Summarey of Jack W. Lydman’s report, July 18, 1969, in NAA, Extracts given to author by Anthony Bamain).

Duta Besar RI, Sudjarwo Tjondronegoro mengakui: "Banyak orang Papua kemungkinan tidak setuju tinggal dengan Indonesia." (Sumber: UNGA Official Records MM.ex 1, paragraf 126).

Dr. Fernando Ortiz Sanz melaporkan kepada Sidang Umum PBB pada 1969:

"Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka." (Sumber: UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph 243, p.47).

Keterlibatan Militer Indonesia juga diakui oleh Sintong Panjaitan dalam bukunya: Perjalanan Seorang Prajurit Peran Komando:

"Seandainya kami (TNI) tidak melakukan operasi Tempur, Teritorial, Wibawa sebelum Pepera 1969, pelaksanaan Pepera di Irian Barat dapat dimenangkan oleh kelompok Papua Merdeka." (2009:hal.169).

Dari fakta-fakta kekejaman dan kejahatan ini, Amiruddin menggambarkan ini dengan sangat tepat dan indah, sebagai berikut:

"Kehadiran dan sepak terjang ABRI yang kerap melakukan kekerasan di Papua kemudian melahirkan satu sikap yang khas di Papua, yaitu Indonesia diasosiasikan dengan kekerasan. Untuk keluar dari kekerasan, orang-orang Papua mulai membangun identitas Papua sebagai reaksi untuk menentang kekerasan yang dilakukan oleh para anggota ABRI yang menjadi repesentasi Indonesia bertahun-tahun di Papua. ...Orang-orang Papua secara perlahan, baik elit maupun jelata juga mulai mengenal Indonesia dalam arti sesungguhnya. Singkatnya, ABRI adalah Indonesia, Indonesia adalah ABRI." (hal. 43).

Pendeta Phil Karel Erari mengatakan: "Sejarah integrasi Papua dalam Indonesia adalah suatu sejarah berdarah. Pelanggaran HAM yang diwarnai dengan pembunuhan kilat, penculikan, penghilangan, perkosaan, pembantaian, dan kecurigaan. Secara hukum, integrasi Papua dalam NKRI bemasalah." ( Sumber: Yubileum dan Pembebasan Menuju Papua Baru: 2006:23,182).

Phil Erari mengungkapkan: "Sejarah sedang berbicara, bahwa genderang Trikora, 19 Desember 1961 dari Yogyakarta telah mengukir sejarah sebuah tragedi budaya dan kemanusiaan. Proses peralihan Papua dari Belanda melalui PBB dan pada akhirnya direkayasa dalam bentuk Pepera 1969 telah terjadi persoalan yang menyangkut pelanggaran HAM. Para pelaku sejarah mengakui bahwa menghadapi pelaksanaan Pepera, mereka tidak terlibat dalam proses persiapan pelaksanaan Pepera. Anggota-anggota DPRD-GR, pimpinan Dirk Ajambiseba dibubarkan dan diganti oleh Dewan Musyawarah Pepera (DMP) yang berjumlah 1025 anggota. Seluruh pelaksanaan Pepera dikendalikan oleh Operasi Khusus (Opsus) dengan misi Jakarta, yakni memenangkan Pepera untuk Indonesia." (Erari, 2006:169).

3. Penyelasan Perwakilan PBB, Dr. Fernando Ortiz Sanz

Dr. Fernando Ortiz Sanz melaporkan: 

“…pandangan dan keinginan politik orang-orang Papua telah disampaikan melalui berbagai saluran media: pernyataan-pernyataan dan komunikasi lain disampaikan kepada saya secara tertulis atau lisan, demonstrasi-demonstrasi damai, dan dalam beberapa masalah menyatakan kegelisahan atau ketidakamanan, termasuk peristiwa-perstiwa sepanjang perrbatasan antara Irian Barat dan wilayah Papua New Guinea yang diurus oleh Australia” (Sumber resmi: UNGA, Annex I A/7723, 6 November 1969, paragraph 138, p. 45).

“Pernyataan-pernyataan (petisi-petisi) tentang pencaplokan Indonesia, peristiwa-peristiwa ketegangan di Manokwari, Enarotali, dan Waghete, perjuangan-perjuangan rakyat bagian pedalaman yang dikuasasi oleh pemerintah Australia, dan keberadaan tahanan politik, lebih dari 300 orang yang dibebaskan atas permintaan saya, menunjukkan bahwa tanpa ragu-ragu unsur-unsur penduduk Irian Barat memegang teguh berkeinginan merdeka. Namun demikian, jawaban yang diberikan oleh anggota dewan musyawarah atas pertanyaan yang disampaikan kepada mereka adalah sepakat tinggal dengan Indonesia” ( Sumber resmi: UNGA Annex IA/7723, paragraph 250, hal. 70).

Berhubungan dengan pelaksanaan Pepera 1969 yang penuh pembohongan itu, Dr. Fenando Ortiz Sanz, perwakilan PBB, yang mengawasi pelaksanaan Pepera 1969 melaporkan sebagai berikut.

“Saya harus menyatakan pada permulaan laporan ini, ketika saya tiba di Irian Barat pada bulan Agustus 1968, saya diperhadapkan dengan masalah-masalah yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan dalam Perjanjian New York Pasal XVI. Lebih dulu ahli-ahli PBB yang ada tinggal di Irian Barat pada saat peralihan tanggungjawab administrasi secara penuh kepada Indonesia ditiadakan, mereka tidak mengenal keadaan secara baik, mempersingkat tugas-tugas mereka.

Akibatnya, fungsi-fungsi dasar mereka untuk menasihati dan membantu dalam persiapan untuk mengadakan ketentuan-ketentuan Penentuan Nasib Sendiri tidak didukung selama masa 1 Mei 1963-23 Agustus 1968. Atas kehadiran saya di Irian Barat, untuk tujuan misi saya, saya telah memulai dengan mengumpulkan, mencoba untuk memenuhi dalam beberapa bulan dengan staf yang terbatas tidak seimbang dengan wilayah yang luas, fungsi-fungsi penting dan kompleks di bawah Perjanjian New York XVI hendaknya dilaksanakan selama 5 (lima) tahun dengan sejumlah ahli” (Sumber resmi: UN Doc. Annex I A/7723, paragraph 23, p.4)

  “Saya dengan menyesal harus menyatakan pengamatan-pengamatan saya tentang pelaksanaan Pasal XXII (22) Perjanjian New York, yang berhubungan dengan hak-hak termasuk hak-hak kebebasan berbicara, kebebasan bergerak, kebebasan berkumpul, penduduk asli. Dalam melakukan usaha-usaha yang tetap, syarat-syarat yang penting ini tidak sepenuhnya dilaksanakan dan pelaksanaan administrasi dalam setiap kesempatan diadakan pengawasan politik yang ketat terhadap penduduk pribumi.”  ( Sumber: Laporan Resmi Hasil Pepera 1969 Dalam Sidang Umum PBB, Paragraf 164, 260).

Dr. Fernando Ortiz Sanz dalam laporan resminya dalam Sidang Umum PBB tahun 1969 menyatakan: “ Mayoritas orang Papua menunjukkan berkeinginan untuk berpisah dengan Indonesia dan mendukung pikiran mendirikan Negara Papua Merdeka” (Sumber:  UN Doc. Annex I, A/7723, paragraph, 243, p.47).

4. Empat Akar Masalah Papua

Sebaiknya dan sebenarnya Putra Putri Pejuang Pepera 1969 berjuang untuk memperbaiki kesalahan dan meluruskan sejarah Pepera 1969 yang bengkok dan miring dan sudah menjadi penyakit membusuk dan bernanah itu, bukan sebaliknya. 

Luka membusuk di tubuh bangsa Indonesia adalah 4 pokok akar masalah Papua. Pemerintah dan TNI-Polri berusaha keras dengan berbagai bentuk untuk menghilangkan 4 akar persoalan Papua yang dirumuskan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang tertuang dalam buku Papua Road Map: Negociating the Past, Improving the Present and Securing the Future (2008), yaitu:

1) Sejarah dan status politik integrasi Papua ke Indonesia;

(2) Kekerasan Negara dan pelanggaran berat HAM sejak 1965 yang belum ada penyelesaian; 

(3) Diskriminasi dan marjinalisasi orang asli Papua di Tanah sendiri; 

(4) Kegagalan pembangunan meliputi pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat Papua.

Kekejaman dan kejahatan Negara Indonesia terhadap OAP selama ini telah melahirkan sikap rakyat Papua dengan lima posisi sebagai berikut:

(1) AWARENESS (Kesadaran) dari seluruh rakyat dan bangsa West Papua, bahwa penguasa kolonial moderen Indonesia menduduki dan menjajah serta memusnahkan bangsa West Papua dengan proses sejarah yang bengkok dan salah. 

(1) DISTRUST (Ketidakpercayaan) rakyat dan bangsa West Papua terhadap Indonesia;

(2) DISOBEDIENCE ( Ketidakpatuhan) dari rakyat dan bangsa West Papua terhadap Indonesia;

(3) REJECTION (Penolakan) rakyat dan bangsa West Papua terhadap Indonesia; dan

(4) RESISTANCE (Perlawanan) terhadap penguasa Indonesia dari rakyat dan bangsa West Papua. 

5. JALAN PENYELESAIAN

Indonesia dan ULMWP duduk setara di meja perundingan damai yang dimediasi pihak ketiga yang netral seperti contoh GAM Aceh dengan Indonesia Helsinki pada 15 Agustus 2005.

=============

Ita Wakhu Purom, 1 November 2020



Penulis: 

1. Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua. 

2. Anggota: Dewan Gereja Papua (WPCC).

3. Anggota Baptist World Alliance (BWA).

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Hollywood Movies