Type Here to Get Search Results !

Pengakuan Veronica Koman Terkait Pelanggaran HAM di Papua Barat


Selama beberapa dekade, pemerintah Indonesia telah beroperasi dengan impunitas relatif di Papua Barat. Pengacara Hak Asasi Manusia Veronica Koman berbicara dengan SBS pada bulan Juni tentang misinya untuk mengungkap vandalisme lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia di provinsi paling timur tersebut. Berikut pengakuannya.




Oleh: Kylie Grey (SBS News/Dateline)




Setelah menunjukkan dukungannya untuk kemerdekaan Papua Barat, pemerintah Indonesia mengancam pengacara HAM itu hingga enam tahun penjara.

Dia juga menerima ancaman kematian dan pemerkosaan dari sesama orang Indonesia. Dia tidak pernah tinggal di satu tempat selama lebih dari beberapa malam.

Pada bulan Februari tahun ini, Koman mengunggah video ke Twitter. Video itu menunjukkan seorang bocah lelaki Papua Barat berusia 16 tahun yang terborgol ke tanah seiring seorang polisi Indonesia mengalungkan seekor ular besar di sekitar tubuhnya.

Bocah itu dituduh mencuri ponsel.

Video itu beredar, menarik perhatian Komisaris Hak Asasi Manusia PBB dan anggota parlemen di Parlemen Inggris. Mereka menuntut jawaban dari Indonesia.

Sekarang dunia menyaksikan—dan janji Indonesia untuk meningkatkan pembangunan ekonomi Papua Barat dan kesejahteraan penduduk di sana mulai terurai.

***

Hingga baru-baru ini, pemerintah Indonesia telah mencegah jurnalis internasional menyaksikan apa yang terjadi pada masyarakat adat dan lingkungan di Papua Barat; sebuah semenanjung yang diduduki oleh Belanda hingga pertengahan tahun 1960-an, yang sekarang menjadi provinsi Indonesia.

Papua Barat kaya akan sumber daya alam, menjadikannya ‘angsa emas’ bagi operator pertambangan, perusahaan gas, industri penebangan, dan pemegang saham luar negeri. Pemerintah Indonesia memegang saham mayoritas Freeport yang mengoperasikan tambang emas terbesar di dunia dan tambang tembaga terbesar kedua.

Terlepas dari sumber daya alamnya, Papua Barat masih menjadi daerah termiskin di Indonesia.

Koman mengatakan kepada Dateline bahwa beberapa orang Indonesia menganggap orang Papua Barat sebagai ‘sub-manusia’ dan sering menyebut mereka sebagai ‘monyet’.

Dengan bantuan media sosial, sekutu negara-negara Pasifik seperti Vanuatu dan kelompok lobi global yang kuat seperti Word Council of Churches, gerakan kemerdekaan Papua Barat terus mengumpulkan dukungan internasional.

Indonesia cukup khawatir dengan citranya di Pasifik, dan menjanjikan uang bantuan sebagai imbalan atas dukungan kedaulatan mereka.

Bagi masyarakat Papua Barat, strategi terbesar mereka adalah kelompok muda Indonesia yang berpendidikan, yang mendukung hak rakyat Papua untuk menentukan nasib sendiri.

Pada bulan November 2016, Front Rakyat Indonesia untuk Papua Barat dibentuk setelah sekelompok orang Indonesia menyatakan dukungan mereka untuk penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua Barat.

Akses Internet di Papua
Petugas polisi berjaga-jaga saat protes di Mimika, Papua, Indonesia, 21 Agustus 2019 dalam foto yang diambil oleh Antara Foto. (Foto: Reuters/Antara Foto/Sevianto Pakiding)

PENGORBANAN UNTUK BERSUARA


Petugas polisi berjaga-jaga saat protes di Mimika, Papua, Indonesia, 21 Agustus 2019 dalam foto yang diambil oleh Antara Foto. (Foto: Reuters/Antara Foto/Sevianto Pakiding)
Veronica Koman adalah sosok yang jarang ditemukan. Dia adalah satu dari sedikit pengacara yang mewakili orang Papua Barat melawan pemerintah Indonesia.

Itu juga membutuhkan pengorbanan pribadi yang besar.

Kunjungannya baru-baru ini ke Sydney adalah kesempatan langka untuk membicarakan pekerjaannya dengan aman setelah mewakili tiga orang Papua Barat dalam pengadilan makar di Timika—dekat perusahaan Tambang Grasberg milik Freeport.

Terlepas dari upaya terbaiknya, ketiga orang itu masuk dalam daftar panjang tahanan politik Papua Barat yang menerima hukuman antara delapan bulan hingga dua tahun karena ‘paksaan dan pemberontakan’.

Kasus ini hanyalah satu dari banyak kasus yang membuat Veronica Koman dan mereka yang membela orang Papua Barat kewalahan.

Tidak ada seorang pun dari militer atau polisi Indonesia yang pernah dihukum.

“Bulan lalu ada dua orang Papua Barat yang tewas dalam tahanan,” Koman menjelaskan. “Saya berbicara dengan keluarga dan beberapa orang di dalam penjara juga. Investigasi awal saya mengungkapkan bahwa mereka disiksa sampai mati dan tidak ada yang dilakukan hingga sekarang, tidak ada investigasi, tidak ada apa pun.”

“Kasus ini sangat berat dan tidak ada seorang pun dari militer atau polisi Indonesia yang pernah dihukum. Kami bahkan tidak membawa sebagian besar kasus ke pengadilan lagi,” katanya.

Sebaliknya, Koman dan rekan-rekannya dari Papua Barat mendokumentasikan apa yang terjadi, dengan harapan bahwa suatu hari PBB dan komunitas internasional akan melakukan intervensi dan para keluarga akan mendapatkan keadilan.

PROPAGANDA DAN ANCAMAN KEMATIAN


Selain bertarung di pengadilan, Veronica Koman juga berjuang melalui perang propaganda online, di mana ia telah ditunjuk melakukan makar.

“Justru karena mereka tidak dapat menandingi data saya tentang kasus-kasus hak asasi manusia sehingga mereka mengejar saya sebagai individu,” katanya.

“Mereka berusaha membuat saya terlihat seperti saya bukan orang yang kredibel. Mereka mengatakan bahwa saya adalah penyebar hoaks. Indonesia adalah pengguna twitter yang besar, salah satu yang terbesar di seluruh dunia, jadi saya menuliskan apa yang terjadi di Papua Barat melalui akun twitter saya.”

Walau ancaman online telah menjadi hal biasa, namun pada Desember 2018 Koman terpaksa melindungi dirinya di dalam kantor LSM ketika gerombolan warga sipil yang marah di Surabaya menyerukan namanya setelah protes kemerdekaan oleh mahasiswa Papua Barat.

Dia adalah pengacara yang mewakili para demonstran yang terdiri dari 300 orang.




“Saya dilempari batu, saya dihina secara rasis, orang-orang berteriak pada saya, ‘Anda pengkhianat, apakah Anda mendanai ini? Anda orang China pasti mendanai separatisme ini, Anda pengkhianat, keluar dari negara ini, kami akan membunuh Anda’.”

“Aktivis senior mengatakan bahwa saya harus keluar dari negara ini. Saya melakukannya, dan beberapa hari setelah itu beberapa ormas datang ke kantor, mereka mencari saya.”

Sebuah mobil hangus terbakar setelah kerusuhan di Jayapura, Papua, Indonesia, 30 Agustus 2019 dalam foto yang diambil oleh Antara Foto. (Foto: Reuters/Antara Foto/Gusti Tanati)

PERSPEKTIF INDONESIA: ‘MEREKA BODOH, MEREKA TIDAK BERADAB’

Seperti banyak orang Indonesia lainnya, ketika kecil, Veronica mengetahui bahwa Papua Barat adalah bagian dari Indonesia dan bahwa uang Indonesia membantu provinsi termiskin di Indonesia itu untuk berkembang.

“Kebanyakan orang Indonesia berpikir jika Papua Barat merdeka mereka tidak akan tahu bagaimana mengatur diri mereka sendiri; mereka bodoh, mereka tidak beradab, mereka tidak tahu bagaimana mengatur diri mereka sendiri, mereka akan hancur jika mereka berpisah dari kami,” katanya.

“Di sekolah saya ingat dari pengalaman pribadi kami, kami diajari bahwa selama tahun 1960-an, Presiden Sukarno begitu heroik karena membebaskan rakyat Papua Barat dari Belanda. Kemudian saya menemukan kemudian dari orang Papua Barat bahwa kebanyakan orang Papua Barat berpikir bahwa saat itu adalah awal dari pendudukan Indonesia.”

“Ketika saya mulai menggali lebih dalam pada materi bahasa Inggris tentang apa yang terjadi di Papua Barat, saya menemukan materi dalam jurnalis akademik dari Universitas Yale dan Universitas Sydney yang menggambarkan ‘genosida gerak lambat’.”

Papua Bergejolak, Indonesia Batasi Pengunjung Asing
Sebuah mobil hangus terbakar setelah kerusuhan di Jayapura, Papua, Indonesia, 30 Agustus 2019 dalam foto yang diambil oleh Antara Foto. (Foto: Reuters/Antara Foto/Gusti Tanati)

19 ORANG INDONESIA TERBUNUH, 35.000 ORANG PAPUA BARAT MENGUNGSI


TNI telah berkonflik melawan pejuang pro-kemerdekaan Papua Barat atau Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB-OPM) di Kabupaten Nduga, Dataran Tinggi Tengah Papua Barat.

Kekerasan di Dataran Tinggi Tengah meningkat setelah tentara kemerdekaan Papua Barat membunuh 19 orang Indonesia yang bekerja di jalan raya Trans-Papua pada bulan Desember 2018, seiring konflik mengenai pembangunan semakin meningkat.

Bulan itu, sebuah laporan di The Saturday Paper oleh Mark Davis dan John Martinkus merinci mengenai bom yang dijatuhkan, desa-desa dibakar, dan tuduhan penggunaan fosfor putih pada warga sipil. Indonesia telah membantah klaim tersebut.

Sebuah laporan Al Jazeera berikutnya memperkirakan bahwa konflik di Nduga telah memaksa 35.000 orang meninggalkan rumah mereka.

Banyak yang sekarang kelaparan. Namun, laporan baru-baru ini mengatakan bahwa sejumlah kecil bantuan makanan telah dikirimkan oleh Kementerian Sosial.

Pada bulan Maret tahun ini, Koman menyampaikan pernyataan kepada Dewan Hak Asasi Manusia di Jenewa, untuk menyerukan diakhirinya operasi polisi dan militer di Nduga.

Dia menyerukan dipulangkannya ribuan pengungsi internal serta penyelidikan independen terhadap dugaan kekejaman yang terjadi di sana.

REFERENDUM YANG GAGAL, DEKOLONISASI, DAN ANGSA EMAS


Awal dari perjuangan Papua Barat di Indonesia dimulai ketika Papua mendapatkan kemerdekaannya dari Belanda pada 1 Desember 1961. Pada tahun-tahun berikutnya, Indonesia mulai menegaskan klaimnya atas provinsi tersebut.

Referendum kemerdekaan berikutnya, yang dikenal sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera atau Act of Free Choice) diadakan pada tahun 1969. Namun legitimasinya telah dipertanyakan setelah 1.026 orang Papua Barat dipaksa memilih bergabung dengan Indonesia dari populasi 800.000 orang. Pemungutan suara itu kemudian diejek sebagai ‘Act of No Choice’.

Lima puluh tahun setelah pemungutan suara itu, referendum masih bisa menghadirkan kesempatan untuk kemerdekaan Papua Barat.

Pada bulan Mei tahun ini, anggota parlemen Inggris Robert Courts berbicara di House of Commons, mencatat bahwa: “Pertanyaan tentang legitimasi Act of Free Choice melemahkan legitimasi pemerintahan Indonesia di Papua Barat.”

Yang semakin memperumit dorongan untuk menentukan nasib sendiri adalah, menjadikan orang Indonesia sebagai wakil ketua komite dekolonisasi—satu mekanisme PBB yang dapat memicu referendum baru untuk orang Papua Barat.

PARALEL DENGAN TIMOR LESTE

Kekayaan Papua Barat berbeda dengan Timor Leste, yang diberi referendum kemerdekaan pada tahun 1999 setelah 24 tahun berada di bawah pemerintahan Indonesia.




Setelah 79 persen pemilih memilih kemerdekaan, kekerasan meletus di seluruh negeri yang dipimpin oleh milisi anti-kemerdekaan dan Tentara Nasional Indonesia, menyebabkan antara 1.000-2.000 orang tewas sebelum pasukan penjaga perdamaian Australia tiba untuk memulihkan ketertiban.

Bulan lalu, Timor Leste menandai 20 tahun sejak referendum kemerdekaan. Dan setelah melakukan pengorbanannya sendiri, Veronica Koman telah meminta Australia untuk memainkan peran dalam konflik Papua Barat.

“Australia telah diam mengenai masalah Papua Barat, mungkin karena Perjanjian Lombok (perjanjian keamanan bilateral antara Indonesia dan Australia),” katanya.

“Setiap orang memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri dan ini harus diutamakan dibanding perjanjian bilateral. Saya pikir Australia harus mengambil kepemimpinan seperti itu lagi di Pasifik dalam masalah Papua Barat seperti yang terjadi pada Timor Timur.”

“Pada akhirnya, konflik yang tidak pernah berakhir di Papua Barat hanya akan diselesaikan dengan referendum kemerdekaan.”

Akankah dunia terus berpaling ketika rakyat Papua Barat dan budaya mereka menghilang dalam catatan jurnal akademik?

Tidak jika Veronica Koman dapat membantu mereka.

Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis dan tidak mencerminkan kebijakan editorial Mata Mata Politik.

Keterangan foto utama: Veronica Koman adalah satu dari sedikit pengacara yang mewakili orang Papua Barat. (Foto: Dateline)

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Hollywood Movies