Type Here to Get Search Results !

Memperjuangkan Cita-Cita dengan Akal dan Hati Nurani

Selasa, 13 Agustus 2013 22:25, Ditulis oleh  Tom/Papos

Almarhum Eliezer Yan Bonay adalah salah satu tokoh Papua yang memperjuangkan kembalinya Papua ke dalam NKRI. Bagaimana pemikiran almarhum dimata putrinya Ny.Heemskercke Bonay, SE.
OLEH : TUMBUR GULTOM/PAPOS

Pasca Papua kembali kedalam NKRI tahun 1 Mei 1963. Almarhum Eliezer Yan Bonay menjadi Gubernur pertama Papua hingga 1964 akhir.

Pria kelahiran Serui, 24 Agustus 1924 adalah penganut paham nasionalisme sejati. Ia merangkul semua suku, golongan tanpa pandang bulu.

”Ayah saya, Almarhum Eliezer melihat Papua itu satu dan utuh didalam NKRI,” kenang Ny. Heemskercke Bonay, SE ketika  ditemui di kediamannya Jalan Lembah No.12, Angkasa Indah III, Angkasapura, Distrik Jayapura Utara, Kota Jayapura, Minggu (11/8).

Mengenai makna kemerdekaan RI, Heemskercke menuturkan bahwa ayahandanya, Alm Eliezer Yan Bonay sangat berkeinginan memperjuangkan satu  cita-cita yang agung, yang besar,  menggunakan akal dan hati nurani. Jika begitu, maka akan tercapai  apa yang diperjuangkan  dengan aman, tanpa gesekan-gesekan  yang  membawa penderitaan bagi siapapun.

Alm. Eliezer Yan Bonay, ucap Ny Heemskercke, sepeninggalnya berpesan kepada  generasi  muda untuk  selalu giat belajar, menguasai ilmu yang dimiliki, mempraktekan dalam kerja nyata. Sehingga, apa yang dituju pasti dapat tercapai atas karunia Allah.

”Ingat selalu, semua yang ada didunia ini diciptakan Allah untuk kebahagiaan. Karena semua yang terjadi dalam kehidupan cinta kasih, saling mengasihi, bukan milik mutlak  seseorang  untuk kesenangannya sendiri,” tegas Heemskercke saat menirukan pesan almarhum ayah.

Kepada para pemuda, Alm. Eliezer Yan Bonay juga berpesan agar tidak mudah terbawa emosi, apabila menginginkan suasana yang aman damai. Ia juga mengingatkan agar pemuda pergunakan akal cemerlang  atas dasar ilmu dan hati nurani yang  bijaksana, atas dasar  hasil perjuangan untuk kesejahteraan, ketenteraman semua orang-orang bukan untuk  kemenangan atas kesenangan sendiri saja.
”Tanah ini kaya,  namun diperlukan sebuah ilmu  untuk menggalinya, untuk  dimilikinya, dan untuk mengelola agar bisa dinikmati, Sebab, selangkah demi selangkah  dengan ilmu yang kita miliki, kekuasaan atas kekayaan itu akan dikaruniakan kepada kita dengan jalan alamiah tanpa sikut sana sikut sini,” tuturnya.

Heemskercke juga mengisahkan cerita bagaimana perjuangan Alm. Eliezer Yan Bonay, dimana sejak muda telah memilih  bergabung  bersama Partai Nasional (PARNA).

Perjuangannya menuai hasil, menjadi anggota Volksraad sebutan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
”Massa itu, sedikit tokoh-tokoh yang paham politik, namun yang sedikit itu ternyata kuat daya pemikirannya dan memiliki nurani kebijaksanaannya,” ucapnya.

Heemskercke menuturkan, semasa ayahandanya diculik saat perundingan dengan Pemerintah Belanda, yang kemudian dipertemukan dengan mendiang Jenderal Panjaitan di Born, Jerman Barat. Dalam pertemuaan itu yang tujukan untuk pengasingan oleh pemerintah Belanda, Alm Eliezer menerima pesan-pesan dari Presiden pertama RI Ir.  Soekarno agar tetap setia berjuang mengembalikan Irian Barat ke pangkuan NKRI.

Perjuangan yang tiada henti-hentinya pada akhirnya mengantarkan, Irian Barat kembali ke pangkuan NKRI, walau sejumlah kelompok hadir dengan paham berbeda ingin memisahkan diri.

Melihat hal tersebut, kata Heemskercke bapaknya langsung menyampaikan sebuah pengertian kepada mereka tentang makna  NKRI itu. 

Maka dari itulah dibuatkanlah Musyawarah Irian Barat yang  pertama tahun 1964,” ketika akan Pergelaran musyararah dilakukan sebagian kelompok mulanya ada yang terkena isu Belanda  untuk mengadakan plebisit (Pemungutan Suara), sehingga mengakibatkan muncul pro kontra, padahal Musyawarah itu diadakan untuk pernyataan penentuan nasib  sendiri (self determination), kebulatan tekat bersatu  tetap menjadi bagian dari NKRI,” paparnya.

Sesuai kesaksian Alm Eliezer Yan Bonay, kata Ny Heemskercke, pada masa itu timbul kelompok yang akan mengibarkan bendera yang direkayasa seakan-akan bendera negara Papua, padahal setelah diamati betul garis lintang yang kalau disusun-susun baik nampak bendera Belanda, segala upaya dilakukan kelompok pada waktu itu namun tetap saja  tidak  berhasil, artinya ayah saya dan rekannya tidak dapat dibujuk untuk hadir pada pengibaran bendera itu dan ayah saya tetap pada  pendiriannya bergabung dengan NKRI, dalam arti berpemerintahan satu - NKRI, sebagai  negara merdeka dan berdaulat, yang dulunya jajahan Belanda,” cetusnya sambil memegangi foto-foto Almarhum ayahnya telah tutup usia di Negeri Kincir angin, Belanda, tepat, 13 Maret 1990 lampau.

Melihat sikap para generasi penerus memaknai hari Kemerdekaan RI, Ny. Heemskercke, mengaku perih, lantaran kurangnya rasa nasionalisme. Untuk itu dia mengajak  saudara-saudara  sebangsa dan setanah air, terutama berdomisili di Papua untuk  bersama membangun  Papua  agar menuju Papua yang sejahtera, damai, abadi sesuai dengan cita – cita Proklamasi Kemerdekaan 1945, “Kita mempunyai tanggungjawab moral sebagaimana ditunjukan Eliezer Yan  Bonay, seorang tokoh pejuang yang dijuluki  Gubernur integrasi bangsa yang mengembalikan Irian Barat  kepada pangkuan NKRI  pada  1 Mei 1963,” tutup Ny. Heemskercke. (Bersambung)

Terakhir diperbarui pada Selasa, 13 Agustus 2013 22:46


Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Hollywood Movies