Type Here to Get Search Results !

Massa Pro ‘M’ Siap Demo - Titik Kumpul Makam Theys, Abepura, dan Taman Imbi

Mengapa Orang di Demta Paling Vokal dengan Aspirasi M?
Ditulis oleh redaksi binpa   
Senin, 04 April 2011 16:00

Oleh: Jimmy Fitowin*

Dari Catatan sejarah  administrasi Pemerintah, Distrik Demta yang merupakan salah satu Distrik di wilayah pembangunan II Kabupaten Jayapura, adalah Distrik tertua di kawasan Mamberamo-Tami atau yang sering dikenal dengan sebutan Tabi. Sekitar Tahun 1916 Pemerintah Hindia Belanda mendirikan sebuah kawasan Kota kecil di pesisir pantai utara Kabupaten Jayapura, yang pada masa itu masih mencakup wilayah Mamta. Kota kecil yang akhirnya diberi nama Distrik Demta Kota itu menjadi pusat administrasi Pemerintah Hindia Belanda sebelum akhirnya dibentuk pula Distrik-Distrik lain di tanah Tabi yang kini meliputi wilaya Kab/Kota Jayapura, Keerom, Sarmi, dan Mamberamo Raya.

Distrik Demta pada awalnya dihuni oleh warga lokal yang dikenal dengan suku Jouwari dan Yokari, juga mereka hidup berdampingan dengan warga non Papua lainnya yang sebagian besar berkewarganegaraan China dengan sangat rukun. sayangnya Distrik Sulung itu kini masuk dalam peta merah milik intelegen NKRI untuk terus di awasi dan di mata-matai. Itu setelah rentetan raport merah tergores disana terkait operasi dan sepak terjang “Papua Merdeka”. Ya sebut saja latihan pasukan OPM, penyerangan terhadap mobil patrol aparat, penemuan dokumen-dokumen penting dan senjata laras panjang di salah satu tempat persembunyian, serta rentetan pengibaran Bintang Kejora hingga yang terakhir terjadi di rumah adat Kampung Ambora itu semua terjadi di wilayah tersebut. Saat ini jangan coba-coba banggakan keberhasilan otsus disana, termasuk juga pembangunan pada sector-sektor yang lain yang bersumber dari dana APBD Kabupaten dan Provinsi maupun, APBN, serta sumber dana lain. Seharusnya Pemerintahpun malu untuk mengatakan bahwa ada upaya proses percepatan pembangunan disana. Ada beberapa bukti yang bisa ditemui disana, terutama sekali adalah jalan. Ya, jalan sejauh 20 KM dari Demta menuju Kampung Berap Distrik Nimboran 90 persen berpotensi terjadi kecelakaaan.

Masyarakatpun telah jenuh untuk meminta Pemerintah merehap jalan karang tersebut menjadi permanen. Kadang dari pihak Pemerintah berdalih itu adalah asset Provinsi, sementara dari Provinsi menjawab seharusnya dishering dengan Pemerintah Kabupaten, sementara pihak lain menjawab itu jalan perusahaan sehingga Pemerintah enggaan memperbaikinya. Korbanpun berjatuhan, terakhir warga kampung Ambora yang harus kehilangan kepalanya karena terjun bersama truc tengki di turunan curam memasuki Distrik Demta. Ternyata bukan jalan saja yang menjadi tangisan masyarakat, Listrikpun pasang surut, kadang menyala kadang tidak, apalagi yang di Kampung-Kampung yakni Muris, Ambora, Yaugapsa, Kamdera, dan dan si bungsu Muaif. Pengelola Generator mengeluh bahwa stok bahan bakar menipis, padahal kebutuhan listrik sangat diharapakn sekali oleh masyarakat. Dari kejahuan masyarakat hanya menelan ludah menyaksikan listrik di pelabuhan perusahaan Sinar Mas ON selama 24 jam diatas tanah adat mereka yang direbut oleh Sinar Mas memanfaatkan kelemahan intelektual masyarakat adat. Dari sisi ekonomis mereka diperas habis-habisan dengan sumber daya alam biota laut mereka oleh para tengkulak bermulut manis. Tidak sedikit para ibu rumah tangga yang masak tanpa bumbu dan garam karena keterbatasan financy.

 Tidak sedikit pula remaja dan pemuda yang putus pendidikan karena tidak ada biaya studi dan terpaksa harus membantu orang tua mereka untuk mengadu nasib di telaga raksasa (laut) yang diberikan Tuhan sejak dari semula, yang sewaktu-waktu bisa mengancam nyawa mereka. Pemerintah mencoba menjawab mereka melalui peningkatan sumber daya manusia dengan menghadirkan SMA Negeri Demta. Entah ini ide siapa sekolah itu dibangun 7 kilometer disisi selatan Demta dan berada di kawasan hutan belantara, tanpa ada rumah dinas guru yang mungkin bisa membuat para pahlawan tanpa jasa itu betah bersama siswa disitu. Jangan heran kalau para gurupun seperti kapal selam yang timbul tenggelam. Pendidikanpun tidak berjalan maksimal, alias kocar-kacir pengayaan yang dilakukan untuk 53 murid kelas XI siswa SMA memanfaatkan ruang belajar di SD Inpres Demtapun tidak berjalan dengan baik karena para guru jarang hadir. Kepsekpun takut menegur karena jangan sampai sang guru benar-benar menghilang hingga nanti keadaan bisa tambah fatal. Sementara itu musibah alam tidak sedikit yang memporak-porandakan perumahan dan membuat warga lari kocar-kacir ketakutan.

Kampung Kamdera, dan Muaif adalah 2 kampung yang selalu menjadi makanan empuk air pasang tsunami. Ketika rakyat membutuhkan bantuan, paling-paling yang dikirim ke Kampung yang terkena musibah hanya kelambu, supermi, obat-obatan ringan serta sedikit sambutan dan pesan dari pejabat Pemerintah oleh yang mewakili, yang sudah pasti biaya perjalanan dinasnya itu melambung tinggi nilainya dari bantuan yang diberikan. Warga hanya gigit jari dan mendengar di sejumlah media masa yang berkoar-koar mempublikasikan kepedulian Pemerintah mengirimkan bantuan puluhan hingga ratusan juta rupiah serta logistic dan obat-obatan bagi yang terkena musibah di Riau, Serui, Teluk Wondama, dan lainnya.

Dengan perasaan yang hancur mereka kembali membangun 2 jembatan kayu mereka yang putus diterjang tsunami dengan cara swadaya apa adanya yang penting mereka bisa melintas di atasnya. Kini ketika mereka diperhadapkan dengan pesta demokrasi Pemilihan Kepala Daerah, mereka bingung? “kami diwajibkan memilih, tapi memilih pun nasib kami tetap begini, tidak pilihpun nasib kami tetap sama”. Sehingga jangan heran kalau doktrin aspirasi Papua Merdeka itu begitu subur tumbuh dalam sanubari mereka, sebagai solusi akhir untuk keluar dari penderitaan mereka.**

* Penulis adalah Wartawan  SKHU Bintang Papua
4 April 2011

Posted via email from SPMNews' Posterous

Post a Comment

0 Comments
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Hollywood Movies